PERKEMBANGAN BUDAYA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL DAN DEMOKRASI TERPIMPIN
Sesuai dengan semboyan PKI “ politik adalah panglima” maka
seluruh kehidupan masyarakat diusahakan untuk berada di bawah dominasi
politiknya. Kampus diperpolitikkan mahasiswa yang tidak mau ikut dalam rapat
umumnya, appel-appel besarnya dan demonstrasi-demonstrasi revolusionernya di
caci maki dan dirongrong oleh unsur Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia
(CGMI) atau satelit-satelitnya. Wartawan yang ikut BPS dimaki-maki sebagai
antek Nekolim atau agen CIA. Bahkan para budayawan maupun seniman juga tak
luput dari raihan tangan mereka.
Realisme sosialis sebagai doktrin komunis
dibidang seni dan sastra diusahakan untuk menjadi doktrin di Indonesia juga.
Akan tetapi pelaksanaan doktrin tersebut lebih represif dari pada persuasive
seperti adanya larangan bagi pemusik-pemusik pop untuk memainkan lagu-lagu ala
imperialis barat. Peristiwa yang paling diingat oleh masyarakat pada bidang
budaya adalah heboh mengenai Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan
Pengarang Indonesia (KKPI). Sesungguhnya isi dari Manifes Kebudayaan itu
tidaklah baru atau luar biasa. Yang diungkap adalah konsepsi humanisme
universal yang timbul dalam masyarakat liberal yang menekankan kebebasan
individu untuk berkarya secara kreatif. PKI tidak serta merta menyerang manifes
tersebut akan tetapi berselang 4 bulan setelah kemunculannya baru mulai angkat
senjata. Hal ini terjadi karena para sastrawan Pancasilais baik yang mendukung
manifes kebudayaan maupun tidak sedang menyiapkan rencana untuk
menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI). PKI menganggap
bahwa sebuah manifest saja bukanlah ancaman bagi mereka akan tetapi suatu
pengelompokan yang terorganisasi merupakan bahaya yang harus segera ditumpas
sebelum berkembang lebih besar.
Para sastrawan yang sudah menyiapkan
KKPI memiliki perencanaan yang matang. Mereka sudah melakukan pengaman
secukupnya baik berupa konsepsi maupun dukungan dari pejabat-pejabat dan
kekuatan-kekuatan pancasilais. Setelah kemunculan Persatuan Karyawan Pengarang
Indonesia (PKPI) barulah PKI mulai mengadakan kampanye untuk mengidentifikasi
KKPI dan PKPIdengan manifest kebudayaan untuk sama-sama dihancurkan. Serangan terhadap
manifest kebudayaan terus dilancarkan melalui tulisan yang semakin tajam dalam
Harian Rakyat, Bintang Timur dan Zaman Baru. PKI menganggap manifest kebudayaan
sebagai bentuk penyelewengan dari revolusi Indonesia yang berporos pada soko
guru tani, buruh dan prajurit. Di lain sisi PKI mendukung penuh gagasan
manifest politik karena dalam ide-ide tersebut terdapat penyesuaian gagasan
sikap politik budaya dari perjuangan komunisme. Manifes kebudayaan dianggap
mengesampingkan manifest politik karena memisahkan antara politik dan
kebudayaan. Propaganda PKI yang hebat sedikit banyak telah mempengaruhi massa,
serangan-serangan terhadap pendukung manifest kebudayaan dan KKPI tidak ada
hentinya dalam harian, pidato, tokoh-tokoh PKI maupun aksi politik. Serangan
lewat media mass media, aksi turun kejalanberdemonstrasi dilakukan oleh
penyokong PKI. Aksi-aksi tersebut mengundang presiden Soekarno sehingga pada
ulang tahun Departemen Perguruan Tinggi dan ILmu Pengetahuan (PTIP) yang ke-3
menyampaikan pidato yang mendesak mahasiswa revolusioner dan molotan untuk
menggeser guru-guru besar dan sarjana anti manifest politik. Pidato Presiden
Soekarno tentang Manipol-Usdek yang dimanfaatkan PKI untuk pentrapan bagi
konsumsi rakyat. Dalam pidato ini Presiden soekarno mengecam adanya kebudayaan
barat yang diasosiasikan dengancita-cita imperialism barat. Kekuatan Pki
setelah tahun 1963sangat besar dan berpengaruh sekali, Bahkan PKI dapat keluar
masuk istana secara mudah.
Sehingga Presiden soekarno
mengeeluarkan larangan terhadap manifest kebudayaan karena manifesto politik
republic Indonesia sebagai pancaran pancasiala telah menjadi garis besar haluan
negara tidak mungkin didampingi manifesto lain apalagi kalau manifesto itu
menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi dan member kesan berdiri
disampingnya. Pernyataan Presiden Soekarno yang menganggap pendukung manifest
kebudayaan bertentangan dengan manipol merupakan suatu tuduhan yang sangat
berbahasa pada saat itu. Pencetus utama manifest kebudayaan H.B Jassin, wiratmo
Sukitodan Trisno sumardjo merasakan ahwa mereka harus membuat suatu pernyataan
berkenaan dengan perintah pelarangan dari Presiden soekarno untuk menjelaskan
posisi manifesto kebudayaan, membersihkan diri mereka dari massa yang
digerakkkan PKI. Oleh sebab itu pada tanggal 11 Mei 1964 ketiga tokoh tersebut
menanggapi larangan Presiden Soekarno. Pernyataan ini dibuat agar angka korban
yang jatuh akibat dukungan kepada manifest kebudayaan tidak meningkat.
Pada tanggal 27 Agustus-2 September
1964 PKI mengadakan Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) di
Jakarta. KSSR ini dimaksudkan untuk menandingi KKPI yang diadakan bulan Maret
lalu. KSSR mau membuktikan bahwa suasana kebudayaan berada dibawah kekuasaaan
PKI. Dengan demikian berhasilllah PKI memukul manifest kebudayaan akan tetapi
PKPI tidak dapat mereka hancurkan. Benteng Pancasila tidak dapat ditaklukkan
oleh PKI selain itu para sastrawan Indonesia mendapatkan pelajaran berharga
bahwa untuk menghadapi komunisme diperlukan juga senjata berupa organisasi.
0 Response to "PERKEMBANGAN BUDAYA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL DAN DEMOKRASI TERPIMPIN"
Post a Comment