Pembantaian Suku Moro Di Filiphina

Pembantaian Suku Moro Di Filiphina
Pembantaian Suku Moro Di Filiphina

terjadi sejak awal masa kemerdekaan Filipina di tahun 1946. Terdapat berbagai kelompok pemberontak di Filipina. Salah satu kelompok yang gencar dalam melakukan perlawanan adalah Etnis muslim Moro. Moro adalah sebuah etnis yang mendiami Filipina Selatan tepatnya di Pulau Mindanao.
            Kelompok pemberontak Moro yang pertama terbentuk adalah Moro National Liberation Front (MNLF) pada tahun 1969. Terbentuk karena perlakuan diskriminatif pemerintah Filipina atas muslim Moro. Etnis moro merasa bahwa pemerintah Filipina tidak pernah mengakomodasi kepentingan mereka, seperti pembangunan tempat ibadah, sekolah Islam. Justru pemerintah Filipina melakukan transmigrasi besar-besaran dengan mengirimkan penduduk Filipina bagian Utara yang beragama Katolik ke Pulau Mindanao. Serta kebijakan Asimilasi atas budaya Moro terhadap budaya Utara yang dipengaruhi ajaran Katolik. Sehingga, etnis Moro menjadi termarjinalkan sebagai sebuah etnis dengan identitas agama dan budaya yang berbeda dengan masyarakat Filipina Utara. Selain itu puncak kekecewaan Etnis Moro atas Filipina terjadi setelah Peristiwa “Pembantaian Jabidah”.  Yaitu pembunuhan 200 Muslim Moro oleh angkatan bersenjata Filipina. Mereka dibunuh karena melarikan diri dari kamp pelatihan militer yang dipersiapkan untuk merebut wilayah Sabah, Malaysia.
            Setelah pembantaian itu maka MNLF resmi melakukan perlawanan bersenjata. Konflik selanjutnya terjadi pada tahun 1974 di kota Jolo, dimana Angkatan bersenjata Filipina melakukan pembunuhan terhadap 10.000 muslim Moro dan Cina. Kemudian ditangatangi perjanjian Tripoli antara MNLF dan Filipina pada tahun 1974. Namun tidak lama berselang kembali terjadi konflik bersenjata, dan berakhir pada sejumlah pembantaian oleh Angkatan Bersenjata Filipina terhadap etnis Moro. Yaitu  Pembantaian “Malisbong”, Oktober 1977, Pembantaian “Pulau Pata”, Februari 1981 serta masih terdapat banyak konflik yang berakhir pembantaian terhadap etnis muslim Moro oleh Filipina.
            Dalam menanggapi pembantaian yang tetap dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Filipina. Syeikh Salamat Hashim mendirikan dari MNLF mendirikan Moro Islamic Liberation Front  (MILF) yang berideologi Islam pada tahun 1977. Sehingga bertambah jumlah kelompok pemberontak di Filipina.
            Konflik yang berkepanjangan membuat MNLF sepakat berdamai dengan Filipina dengan mendapatkan status Otonomi Khusus Moro atas Mindanao Selatan dan beberapa pulau disekitanya. Sementara MILF tetap melakukan perlawanan, Konflik Cotabo Utara (2000), Krisis Kota Zamboanga (2013) merupakan bukti MILF masih memiliki kekuatan hingga sekarang.

PERAN AKTOR NEGARA DAN NON NEGARA DI KAWASAN ASEAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI FILIPINA SELATAN

            Dalam upaya menyelesaikan Konflik di Filipina, tentu saja ASEAN sebagai sebuah Organisasi regional tidak memiliki wewenang untuk menyelesaikan masalah tersebut. Mengingat bahwa prinsip “ASEAN Way”, yaitu Non-Interference urusan domestik negara anggota ASEAN. Namun diperbolehkan bagi negara anggota Asean menawarkan sebagai mediator perdamaian. Dalam konflik yang terjadi antara Pemerintah Filipina dan Etnis Moro, terdapat beberapa aktor yang berperan dalam mengupayakan kesepakatan damai diantara keduanya. Negara anggota Asean yang berperan untuk berupaya dalam penyelesaian konfilk diantara Filipina dan pemberontak Moro adalah Indonesia. Di tahun 1993 Indonesia mendapat kepercayaan sebagai ketua Komite Quartdhipartie, sebuah komite dibawah Organisasi Konferensi Islam untuk muslim minoritas. Dan dibawah kepemimpinan Indonesia tercapai sebuah perundingan antara Pemerintah Filipina dan MNLF yang menghasilkanFinal Peace Agreement (FPA) atau perjanjian damai di tahun 1996. Namun perundingan ini kemudian tidak berjalan efektif. Kemudian peran Indonesia dalam proses perdamaian muncul lagi pada saat menjabat sebagai Chairman OIC-PCSP (2007 – 2003). Dengan dilakukanya pertemuan dalam berbagai tingkatan antara Pemerintah Filipina dan MNLF. Dalam perkembanganya, pada tanggal 20 April 2010 Indonesia selaku ketua OIC-PCSP telah berhasil mendorong Pemerintah Filipina dan MNLF menandatangani nota kesepahaman Panel Hukum di Tripoli, Libya. Atas perkembangan di Tripoli tersebut, Pemerintah Indonesia kembali berinisiatif untuk mempertemukan kedua pihak, Pemerintah Filipina dan MNLF dalam mencapai persetujuan lebih lanjut atas hasil-hasil capaian perundingan di Tripoli.
            Oleh karena itu, pada tanggal 29 Mei-1 Juni 2012  Indonesia kembali menginisiasi dan memfasilitasi pertemuan Legal Panel antara Pemerintah Filipina dan MNLF di Surabaya. Selain untuk perundingan lebih lanjut, pertemuan ini juga telah menghasilkan kesepakatan baru yang dapat menjadi “Building Blocs” bagi implementasi secara penuh Perjanjian Damai 1996 yang sebelumnya dianggap kurang efektif.
            Selain Indonesia, Malaysia juga merupakan negara anggota Asean yang aktif dalam mediator konflik antara Pemerintah Filipina dan MNLF serta MILF. Pada tahun 1998 pemerintah Malaysia menginiasiasi pertemuan Presiden Filipina, Fidel F. Ramos dan Pemimpin MNLF, Prof. Nur Misuari. Pertemuan tersebut dilakukan untuk meredam bentrokan senjata di antara kedua belah pihak. Kemudian perundingan dilanjutkan antar Pemerintah Filipina dan MILF pada tahun 2012 di Kuala Lumpur. Dalam pertemuan ini, MILF melunak yang pada awalnya menuntut kemerdekaan menjadi tuntutan Otonomi Khusus Bangsa Moro. Namun hasil perundingan pada tahun 2012 kembali gagal setelah penyerangan MILF terhadap petugas kemanan Filipina, setelah Mahkamah Agung Filipina menarik surat penyerahan wilayah yang di klaim milik etnis Moro (MILF). Dan terakhir pada tahun 2014, Malaysia kembali menjadi mediator antara Pemerintah Filipina dan MILF. Sehingga tercapai sebuah kesepakatan damai diantara keduanya.
Indonesia dan Malaysia selaku aktor negara berperan besar dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Filina. Namun selain aktor negara, terdapat juga aktor non-state dalam upaya perdamaian di Filipina.
            Din Syamsudin dan Ormas Muhammadiyah adalah aktor non-state yang mencoba menjadi mediator upaya perdamaian antara Pemerintah Filipina dan MILF. Din Syamsudin sebagai ketua Muhammadiyah terlibat langsung menengahi konflik dunia, yakni dengan aktif menjadi anggota the International Contact Group (ICG) yang memediasi dialog antara Pemerintah Filipina dan kelompok pejuang Islam Moro (MILF).  Pada tahun 2012, diadakan negosiasi antara Pemerintah Filipina dan MILF di Universitas Muhammadiyah Solo, Jawa Tengah.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa tidak hanya aktor negara yang mengupayakan perdamaian di Filipina. Namun juga dari aktor non-negara berupa individu dan organisasi massa.

0 Response to "Pembantaian Suku Moro Di Filiphina"

Post a Comment

Powered by Blogger.