Ketentuan Tata Cara Puasa Ramadhan
Dari perkataan Abu Syuja’ di atas, intinya ada dua hal yang
beliau sampaikan. Orang yang menjalankan puasa wajib berniat dan wajib menahan
diri dari berbagai pembatal puasa. Mengenai pembatal puasa tersebut akan
dibahas secara khusus pada fikih puasa serial ketiga. Sedangkan kali ini kita
akan melihat tentang masalah niat.
Pembagian Niat
Niat yang dimaksudkan adalah berkeinginan untuk menjalankan
puasa. Dalil wajibnya berniat adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.”
(Muttafaqun ‘alaih).
Niat puasa Ramadhan barulah teranggap jika memenuhi tiga
macam niat:
1- At Tabyiit, yaitu berniat di malam hari sebelum Shubuh.
Jika niat puasa wajib baru dimulai setelah terbit fajar
Shubuh, maka puasanya tidaklah sah. Dalilnya adalah hadits dari Hafshoh, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ
قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka
tidak ada puasa untuknya.” (HR. An Nasai no. 2333, Ibnu Majah no. 1700 dan Abu
Daud no. 2454. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if.
Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).
Sedangkan untuk puasa sunnah, boleh berniat di pagi hari
asalkan sebelum waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat). Dalilnya sebagai
berikut,
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها
– قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم-
إِذَا دَخَلَ عَلَىَّ قَالَ
« هَلْ عِنْدَكُمْ طَعَامٌ ». فَإِذَا قُلْنَا لاَ
قَالَ « إِنِّى صَائِمٌ »
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menemuiku lalu ia berkata, “Apakah kalian
memiliki makanan?” Jika kami jawab tidak, maka beliau berkata, “Kalau begitu
aku puasa.” (HR. Muslim no. 1154 dan Abu Daud no. 2455).
Penulis Kifayatul Akhyar berkata, “Wajib berniat di malam
hari. Kalau sudah berniat di malam hari (sebelum Shubuh), masih diperbolehkan
makan, tidur dan jima’ (hubungan intim). Jika seseorang berniat puasa Ramadhan
sesudah terbit fajar Shubuh, maka tidaklah sah.” (Kifayatul Akhyar, hal. 248).
2- At Ta’yiin, yaitu menegaskan niat.
Yang dimaksudkan di sini adalah niat puasa yang akan
dilaksanakan harus ditegaskan apakah puasa wajib ataukah sunnah. Jika puasa
Ramadhan yang diniatkan, maka niatannya tidak cukup dengan sekedar niatan puasa
mutlak. Dalilnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّمَا
لاِمْرِئٍ مَا نَوَى
“Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Adapun puasa sunnah tidak disyaratkan ta’yin dan tabyit
sebagaimana dijelaskan pada point 1 dan 2. Dalilnya adalah sebagaimana hadits
‘Aisyah yang tadi telah terlewat.
3- At Tikroor, yaitu niat harus berulang setiap malamnya
Niat mesti ada di setiap malamnya sebelum Shubuh untuk puasa
hari berikutnya. Jadi tidak cukup satu niat untuk seluruh hari dalam satu
bulan. Karena setiap hari dalam bulan Ramadhan adalah hari yang berdiri
sendiri. Ibadah puasa yang dilakukan adalah ibadah yang berulang. Sehingga
perlu ada niat yang berbeda setiap harinya. (Lihat Al Fiqhul Manhaji, hal.
340-341).
Niat Cukup dalam Hati
Kalau ada yang bertanya bagaimanakah niat puasa Ramadhan,
maka mudah kami jawab, “Engkau berniat dalam hati, itu sudah cukup.” Karena
niat itu memang letaknya di hati. Jadi jika di hati sudah berkehendak mau
menjalankan puasa Ramadhan keesokan harinya, maka sudah disebut berniat.
Muhammad Al Hishni berkata,
لا يصح الصوم إلا
بالنية للخبر، ومحلها القلب،
ولا يشترط النطق بها
بلا خلاف
“Puasa tidaklah sah kecuali dengan niat karena ada hadits
yang mengharuskan hal ini. Letak niat adalah di dalam hati dan tidak
disyaratkan dilafazhkan.”(Kifayatul Akhyar, hal. 248).
Muhammad Al Khotib berkata,
إنما الأعمال بالنيات ومحلها
القلب ولا تكفي باللسان
قطعا ولا يشترط التلفظ
بها قطعا كما قاله
في الروضة
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat
letaknya di hati. Niat tidak cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan
melafazhkan niat. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Ar Roudhoh.” (Al Iqna’, 1:
404).
Itulah rujukan dari kitab Syafi’i mengenai masalah niat.
Adapun memakai niat puasa dengan lafazh ‘nawaitu shouma ghodin …’, maka itu
tidak ada dalil yang mendukungnya untuk dilafazhkan. Masalah melafazhkan niat
tidak terdapat hal tersebut dalam kitab shahih maupun kitab sunan, padahal
masalah tersebut adalah masalah ibadah, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat tidak pernah mencontohkannya.
0 Response to "Ketentuan Tata Cara Puasa Ramadhan"
Post a Comment