MU’AWIYAH BIN
ABI SUFYAN RADHIYALLAHU ANHUMA
TOKOH ISLAM BANI UMAYAH
Mencintai para sahabat
Rasûlullâh –Radhiyallahu ‘anhum- menjadi kewajiban bagi seorang muslim. Dan
melakukan pembelaan kepada mereka merupakan konsekwensi dari rasa cinta
tersebut. Termasuk pada masa sekarang ini, tuduhan dan celaan tanpa dasar
banyak disebarkan di tengah-tengah masyarakat dan mempengaruhi sikap mereka
terhadap para sahabat. Syubhat yang dihembuskan para musuh Islam sudah masuk ke
dalam tubuh masyarakat Islam, sehingga tanpa disadari banyak kaum muslimin
sudah mencela sebagian sahabat. Diantara sahabat yang dicela adalah Mu’awiyah
bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhuma. Sejarah kehidupan beliau yang tersebar di
masyarakat banyak tercemari berita dusta.
Sahabat yang mulia ini
adalah tabir penutup dan tameng bagi para sahabat seluruhnya. Apabila tabir
penutup tersingkap, maka orang-orang yang gemar mencela akan lebih lancang dan
berani mencela sahabat lainnya. Diungkapkan oleh ar-Rabi’ al-Halabi sebagaimana
disampaikan Imam ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan- Nihayah (8/139): “Mu’awiyah
adalah tameng bagi para sahabat Nabi lainnya. Apabila tersingkap, maka
seseorang akan berani merambah yang di belakangnya”.
Imam an-Nasa’i pernah
ditanya tentang sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyân, beliau menjawab: “Islam itu
bagaikan sebuah rumah yang memiliki pintu. Pintu Islam adalah para sahabat.
Barangsiapa yang mengganggu para sahabat, berarti ia ingin mengganggu Islam.
Ibarat seseorang yang merusak pintu, tentulah hanya ingin masuk ke dalam rumah
tersebut. Barang siapa yang menginginkan (jelek) Mu’awiyah, berarti ia (juga)
menginginkan para sahabat”. Lihat Tahdzibul-Kamâl, 1/45.
Oleh karena itu,
menjelaskan keutamaan dan sejarah yang benar tentang Mu’awiyah ini termasuk
melakukan pembelaan terhadap para sahabat. Membela para sahabat berarti membela
Islam.
KELAHIRAN DAN KELUARGA
MU’AWIYAH BIN ABI SUFYAN RADHIYALLAHU ANHUMA
Beliau memiliki nama Mu’awiyah bin Abi Sufyan Shakhr bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdumanaf al-Qurasyi. Menjadi salah satu sahabat dan ipar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau juga seorang penulis wahyu dan menjadi Khalifah kaum muslimin. [Lihat Mukhtashar That-hîr al-Jinan wal-Lisân, Sulaiman al-Khirasyi, hlm 27].
Beliau memiliki nama Mu’awiyah bin Abi Sufyan Shakhr bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdumanaf al-Qurasyi. Menjadi salah satu sahabat dan ipar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau juga seorang penulis wahyu dan menjadi Khalifah kaum muslimin. [Lihat Mukhtashar That-hîr al-Jinan wal-Lisân, Sulaiman al-Khirasyi, hlm 27].
Ibnu Qudamah al-Maqdisi
dalam Lum’atul-I’tiqad menyebutkan, bahwa Mu’awiyah saudara ibunya kaum
mukminin (khâl al-Mu’minin), penulis wahyu dan seorang kholifah kaum muslimin.
[Lihat Lum’at al-I’tiqâd, Ta’liq Ibnu Utsaimin, hlm 107]
Mu’awiyah dilahirkan di
kota Mekkah sekitar lima tahun sebelum kenabian. Beliau tumbuh dan terbina di
antara kaumnya, Bani Umayyah dengan diliputi kemuliaan dan kekayaan. Keluarga
besar Mu’awiyah terkenal dengan ketokohan dan sebagai panglima pada masa
jahiliyah. Kakek beliau, Harb bin Umayyah adalah penglima kaum Quraisy dalam
perang al-Fijâr. Bapaknya, Abu Sufyân sendiri merupakan satu diantara pembesar
Quraisy yang dipercaya kaumnya pada masa jahiliyah dan masuk Islam setelah
penaklukan Mekkah. Adapun ibu beliau adalah Hindun bintu ‘Utbah bin Rabi’ah bin
Abdusy-Syams bin Abdumanaf. Dia termasuk tokoh wanita Quraisy yang terkenal dan
masuk Islam bersama suaminya. Bapaknya adalah Utbah, seseorang yang termasuk
tokoh terkenal di Mekkah dan mati dalam perang Badr bersama kaum kafir Quraisy
lainnya.
Mu’awiyah termasuk pemuda
Quraisy yang belajar membaca dan menulis. Saat itu orang yang bisa menulis
sangat sedikit. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya
sebagai salah satu juru tulis beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
KEISLAMAN MU’AWIYAH BIN
ABI SUFYAN
Para ulama sejarah sepakat tentang keislaman Mu’awiyah bin Abi Sufyân. Tetapi mereka berselisih waktu keislamannya. Imam an-Nawawi[1] dan Ibnu al-Qayyim[2] menetapkan Mu’awiyah termasuk yang masuk Islam setelah penaklukan Makkah pada tahun kedepalan Hijriyah. Sedangkan Abu Nu’aim al-Ashbahani[3] dan adz-Dzahabi menjelaskan menjelang penaklukan kota Mekkah (fathu Makkah).
Para ulama sejarah sepakat tentang keislaman Mu’awiyah bin Abi Sufyân. Tetapi mereka berselisih waktu keislamannya. Imam an-Nawawi[1] dan Ibnu al-Qayyim[2] menetapkan Mu’awiyah termasuk yang masuk Islam setelah penaklukan Makkah pada tahun kedepalan Hijriyah. Sedangkan Abu Nu’aim al-Ashbahani[3] dan adz-Dzahabi menjelaskan menjelang penaklukan kota Mekkah (fathu Makkah).
Perselisihan ini bersumber
dari keadaan beliau yang menyembunyikan keislamannya, sebagaimana dijelaskan
Imam Ibnu Sa’ad dalam kitab Thabaqat (1/131). Adapun Imam adz-Dzahabi secara
pasti menyatakan, Mu’awiyah masuk islam sebelum bapaknya dalam Umrah Qadha`.
Dia merasa takut terhadap bapaknya untuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam .
Meski demikian,
perselisihan pendapat ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mencela Mu’awiyah,
dan tidak mengurangi keutamaannya sebagai sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam .
KEPEMERINTAHANNYA
Mu’awiyah ikut serta memerangi kaum murtad dalam perang Yamamah. Kemudian Abu Bakar mengirimnya ke saudaranya, yaitu Yazid bin Abi Sufyân untuk menaklukan negeri Syam. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khathab, beliau mengangkatnya sebagai Gubernur Syam pada tahun 21 H setelah saudaranya, Yazid bin Abi Syufyân wafat. Jabatan ini disandangnya hingga Khalifah Umar bin al-Khathab wafat. Adapun ketika Utsman bin Affân menjadi khalifah, beliau tetap mengangkat Mu’awiyah sebagai Gubernur Syam. Selanjutnya, pasca Khalifah Utsman terbunuh pada tahun 35 H, Mu’awiyah tidak membai’at Khalifah Ali bin Abi Thalib z sehingga muncul fitnah yang berkelanjutan selama lima tahun dan terjadilah perang yang terkenal, yaitu perang Shiffin pada tahun 37 H.
Mu’awiyah ikut serta memerangi kaum murtad dalam perang Yamamah. Kemudian Abu Bakar mengirimnya ke saudaranya, yaitu Yazid bin Abi Sufyân untuk menaklukan negeri Syam. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khathab, beliau mengangkatnya sebagai Gubernur Syam pada tahun 21 H setelah saudaranya, Yazid bin Abi Syufyân wafat. Jabatan ini disandangnya hingga Khalifah Umar bin al-Khathab wafat. Adapun ketika Utsman bin Affân menjadi khalifah, beliau tetap mengangkat Mu’awiyah sebagai Gubernur Syam. Selanjutnya, pasca Khalifah Utsman terbunuh pada tahun 35 H, Mu’awiyah tidak membai’at Khalifah Ali bin Abi Thalib z sehingga muncul fitnah yang berkelanjutan selama lima tahun dan terjadilah perang yang terkenal, yaitu perang Shiffin pada tahun 37 H.
Pada tahun 41 H beliau
dibai’at menjadi khalifah setelah pengunduran diri al-Hasan bin Ali dari
kekhilafahan. Tahun ini dinamakan tahun jama’ah (‘âm al-jama’ah), karena
bersatunya kembali kaum muslimin. Pemerintahan Mu’awiyah ini berlanjut hingga
wafatnya pada tahun 60 H.
Khalifah Mu’awiyah
terkenal sebagai pemimpin yang mencintai jihad fî sabilillâh. Beliau terkadang
memimpin langsung pertempuran, mengirim para panglima dan tentaranya melakukan
penaklukan. Pada masanya, beliau memerintah banyak sekali negara yang
ditaklukkan, diantaranya Qubrus, Shaqliyah, Negara Sind, Kabul, al-Ahwaaz
hingga Afrika Utara.
MU’AWIYAH BIN ABI SUFYAN
DAN HADITS NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Mu’awiyah bin Abi Sufyân termasuk dalam kalangan ulama sahabat, sehingga disifati oleh Ibnu Abbas sebagai seorang faqih. Demikian juga Fudhail bin Iyâdh pernah mengatakan, amalanku yang paling kuat dalam jiwaku adalah cinta kepada Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarâh, dan cintaku kepada para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya. Fudhail bin Iyâdh mendoakan Mu’awiyah dan berkata: “Beliau termasuk ulama dari para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[4]
Mu’awiyah bin Abi Sufyân termasuk dalam kalangan ulama sahabat, sehingga disifati oleh Ibnu Abbas sebagai seorang faqih. Demikian juga Fudhail bin Iyâdh pernah mengatakan, amalanku yang paling kuat dalam jiwaku adalah cinta kepada Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarâh, dan cintaku kepada para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya. Fudhail bin Iyâdh mendoakan Mu’awiyah dan berkata: “Beliau termasuk ulama dari para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[4]
Mu’awiyah bin Abi Sufyân
termasuk perawi hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal.
Disamping meriwayatkan hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
juga meriwayatkan dari saudarinya Ummul-Mukminin, Ummu Habibah, Abu bakar dan
Umar. Diantara tokoh-tokoh yang mengambil hadits dari beliau ialah Abdullâh bin
Abbas, Abu Sa’id, Abdullâh bin Zubair, an-Nu’man bin Basyir, Jarir bin
Abdillah, Abu Shalih as-Sammân, Abu Idris al-Khaulani, Abu Salaamh bin
Abdirrahman, Urwah bin az-Zubair, Sa’id al-Maqburi, Khalid bin Mi’daan dan
Sa’id bin al-Musayyib serta lainnya[5]. . Riwayat Abu Sa’id al-Khudri dan Jarir
bin Abdillah terdapat dalam Shahih Muslim, dan riwayat Ibnu Abbas dari beliau
tersebut dalam shahîhain.
Imam adz-Dzahabi
menjelaskan hadits-hadits yang diriwayatkan Mu’awiyah dalam Musnad Baqi bin
Makhlad berjumlah 163 hadits. Yang dikeluarkan Imam al-Bukhâri dan Muslim
secara bersama ada 4 hadits, dan yang diriwayatkan Imam al-Bukhâri tanpa Imam
Muslim berjumlah 4 hadits. Adapun yang diriwayatkan Imam Muslim tanpa
al-Bukhâri berjumlah 5 hadits.
JIHAD YANG DIIKUTINYA
Mu’awiyah ikut serta dalam jihad bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyaksikan sebagian peperangan tersebut. Diantaranya perang Hunain dan ath-Thaif.[6] Berikut adalah diantara peperangan yang diikuti beliau selama menjadi Gubernur Syam pada zaman Umar dan Utsman, dan saat beliau menjadi khalifah.
Mu’awiyah ikut serta dalam jihad bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyaksikan sebagian peperangan tersebut. Diantaranya perang Hunain dan ath-Thaif.[6] Berikut adalah diantara peperangan yang diikuti beliau selama menjadi Gubernur Syam pada zaman Umar dan Utsman, dan saat beliau menjadi khalifah.
1. Beliau meminta ijin
kepada Khalifah Utsman ikut berperang di lautan, yaitu ke Qubrus, dan Allâh
memenangkannya. Peperangan ini disampaikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sabdanya:
أول جيش يغزو البحر قد أوجبوا
Pasukan pertama yang
berperang di lautan sungguh telah mengerjakan perbuatan yang berhak mendapatkan
syurga. [HR al-Bukhâri, 2924].
Ibnu Hajar menjelaskan
hadits ini, bahwa Mu’awiyah adalah tentara pertama yang mengarungi lautan. Itu
terjadi pada masa Kekhilafahan Utsman.[7] Waktu itu ia menjadi panglima
pasukan.
2. Pada Kekhalifahan
Mu’awiyah terjadi pengepungan Konstantinopel. Yaitu pada tahun 49 H. Diantara
pasukan yang dikirim terdapat para sahabat, diantaranya Ibnu Abbas, Ibnu
az-Zubair dan Abu Ayyub al-Anshari.
3. Pada tahun 54 H terjadi
pengepungan kedua atas Konstantinopel dengan panglima Abdullâh bin Qais
al-Hâritsi at-Tajibi dengan dibantu Fudhalah bin Ubaid. Lama pengepungan ini
berjalan selama enam atau tujuh tahun.[8]
4. Pada tahun 41 H
Mu’awiyah memerintahkan Amru bin al-Ash, Gubernur Mesir untuk memerangi bagian
utara Afrika dan memberikan perlawanan kepada Negara Bizantium. Untuk
penaklukkan ini Amru bin al-Ash menyiapkan Uqbah bin Naafi’ al-Fihri, dan Uqbah
berhasil menaklukan banyak negeri di kawasan Afrika Utara. Kemudian dibangunlah
kota al-Qairwaan sebagai pusat penaklukan Islam di Afrika Utara.
5. Pada masa pemerintahan
Mu’awiyah, kaum Muslimin berhasil menaklukan banyak dari negeri Khurasaan dan
Sajisitan, seperti kota Bust, Khasyk, Kabul dan lainnya. Penaklukan ini dimulai
dari tahun 42-43 H ketika Gubernur Abdullah bin Amir bin Kuraiz mengangkat
Abdurrahman bin Samurah bin Habib sebagai panglima penaklukan dan jihad di
wilayah ini. Pusat pasukan ditempatkan di kota Marwu dan pasukan dipimpin oleh
al-Hakam bin Amru al-Ghifâri.
KEUTAMAAN YANG DIMILIKINYA
Beliau memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
1. Keislamannya.
Para ulama sepakat mengenai keislamannya dan merupakan keutamaan besar baginya. Sikap istiqamahnya ditunjukkan dengan adanya hadits-hadits yang menjelaskan keislamannya, baik yang bersifat khusus maupun umum. Diantaranya adalah hadits Fathimah bintu Qais yang bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Mu’awiyah dan Abu Jahm yang melamarnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
Beliau memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
1. Keislamannya.
Para ulama sepakat mengenai keislamannya dan merupakan keutamaan besar baginya. Sikap istiqamahnya ditunjukkan dengan adanya hadits-hadits yang menjelaskan keislamannya, baik yang bersifat khusus maupun umum. Diantaranya adalah hadits Fathimah bintu Qais yang bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Mu’awiyah dan Abu Jahm yang melamarnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
Adapun Abbu Jahm, maka ia
tidak bisa melepas tongkat dari bahunya. Sedangkan Mu’awiyah, ia miskin tidak
memiliki harta. Nikahlah dengan Usamah bin Zaid. [HR Muslim no. 1480].
Hadits ini menjelaskan
keutamaan Mu’awiyah dan bantahan atas tuduhan ketidakistiqamahannya dalam
Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini bahwa
Mu’awiyah tidak mempunyai harta saja. Seandainya ada masalah dengan
keislamannya, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya dan
tidak menyembunyikannya.
Keistiqamahan Mu’awiyah
tidak hanya pada awal Islam dan masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
masih hidup saja, tetapi terus berlanjut, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sendiri menjelaskan keistiqamahan keislaman Mu’awiyah dalam sabdanya:
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
Sesunggunya anakku ini
adalah Sayyid, dan Allâh akan mendamaikan dengan sebabnya antara dua kelompok
besar dari kaum Muslimin. [HR al-Bukhâri, no. 2704].
Hadits ini menunjukkan
keutamaan besar yang dimiliki al-Hasan bin Ali, namun juga ada penisbatan sifat
kelompok yang dipimpin al-Hasan bin Ali dan yang dipimpin Mu’awiyah dengan
keislamannya. Pujian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas sikap al-Hasan
yang mengalah dan berdamai menunjukkan keabsahan kepemimpinan Mu’awiyah.
Seandainya Mu’awiyah tidak berhak atas kekhilafahan setelah al-Hasan mundur,
tentulah al-Hasan tidak memuji pengunduran dirinya dari kekhilafahan. Oleh
karena itu, Sufyaan bin Uyainah berkata: “Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ‘dua kelompok dari kaum Muslimin’ sangat menakjubkan aku”[9].
Al-Hâfizh ibnu Katsir
mengatakan: “Padanya terdapat hukum keislaman kedua kelompok, yaitu ahlu Syam
dan ahlu Iraaq; tidak seperti yang dituduhkan sekte Rafidhah orang bodoh dan
jahat berupa vonis kafir terhadap ahlu Syaam”.[10]
2. Mu’awiyah adalah
sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Tentang statusnya sebagai sahabat sangatlah jelas, seperti disampaikan Ibnu Abi Mulaikah:
Tentang statusnya sebagai sahabat sangatlah jelas, seperti disampaikan Ibnu Abi Mulaikah:
أَوْتَرَ مُعَاوِيَةُ بَعْدَ الْعِشَاءِ بِرَكْعَةٍ وَعِنْدَهُ مَوْلًى لِابْنِ عَبَاسٍ ، فَأَتَى اْبْنَ عَبَاسٍ، فَقَالَ : دَعْهُ فَإِنَّهُ قَدْ صَحِبَ رَسُوْلِ اللهِ
Mu’awiyah shalat witir
satu rakaat setelah Isya, dan disana terdapat maula Ibnu ‘Abbas. Lalu sang
maula menemui Ibnu ‘Abbas, maka Ibnu ‘Abbbas berkata: “Biarkanlah, sesunggunya
ia adalah sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “. [HR al-Bukhâri,
no. 3746]
Sebagai sahabat, ia
mendapatkan keutamaan dan kedudukan.
3. Menjadi Juru Tulis Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hal ini dijelaskan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu :
Hal ini dijelaskan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu :
كَانَ الْمُسْلِمُونَ لاَ يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِى سُفْيَانَ وَلاَ يُقَاعِدُونَهُ فَقَالَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَا نَبِىَّ اللَّهِ ثَلاَثٌ أَعْطِنِيهِنَّ قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ عِنْدِى أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِى سُفْيَانَ أُزَوِّجُكَهَا قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ يَدَيْكَ. قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ وَتُؤَمِّرُنِى حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ. قَالَ « نَعَمْ
Kaum Muslimin tidak
memandang dan berkumpul dengan Abu Sufyân, lalu Abu Sufyan berkata kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai, Nabi Allah! Berikanlah kepadaku tiga
perkara”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Iya”. Abu Sufyân
berkata: “Aku memiliki perempuan Arab yang terbagus dan tercantik, Ummu Habibah
bintu Abi Sufyan. Aku menikahkannya denganmu”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “Iya”. Abu Sufyân berkata: “Mu’awiyah engkau jadikan sebagai
juru tulismu”. Beliau menjawab: “Iya”. Abi Sufyân pun berkata: “Perintahkanlah kepadaku
hingga aku memerangi orang-orang kafir sebagaimana dahulu aku memerangi kaum
Muslimin”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Iya”. [HR Muslim, no.
2501].
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintanya menjadi
penulisnya karena kepandaian dan amanahnya”[11].
4. Mu’awiyah mendapatkan
doa dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِياً، مَهْدِيّاً، وَاهْدِ بِهِ
Ya, Allâh! Jadikanlah ia
menjadi orang yang mendapatkan petunjuk dan memberikan petunjuk, dan berilah
petunjuk dengannya. [HR at-Tirmidzi dan dishahîhkan al-Albani dalam al-Misykah,
no. 623 dan Silsilah ash-Shahîhah, no. 1969].
5. Mu’awiyah adalah khâl
(saudara dari Ummul-Mukminin) dan ipar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
.
Mu’awiyah adalah saudara ummul mukminin istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyân. Berkaitan dengan hal ini, Imam Ahmad berkata: “Mu’awiyah khâl al-mukminin dan Ibnu Umar khâl al-mukminin”. [as-Sunnah, al-Khalâl 2/433].
Mu’awiyah adalah saudara ummul mukminin istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyân. Berkaitan dengan hal ini, Imam Ahmad berkata: “Mu’awiyah khâl al-mukminin dan Ibnu Umar khâl al-mukminin”. [as-Sunnah, al-Khalâl 2/433].
Sedangkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
كُلُّ سَبَبٍ ونَسَبٍ مُنْقَطِعٌ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ غَيْرَ سَبَبِي ونَسَبِي
Semua hubungan
(perkawinan) dan nasab akan terputus pada hari kiamat kecuali hubungan
perkawinan dan nasabku. [hadits ini dinilai shahîh li ghairihi oleh Syaikh
al-Albani dalam Silsilah ash-Shahîhah , 2036].
Ini semua merupakan
keutamaan tersendiri bagi Mu’awiyah.
Demikian sisi lain dari
kehidupan sahabat yang mulia Mu’awiyah bin Abi Sufyân. Dia telah mengorbankan
hidupnya untuk kejayaan Islam hingga wafatnya dalam usia 80 tahun setelah
mengangkat anaknya, Yazid, sebagai putra mahkota. Beliau wafat dan dimakamkan
di Damaskus, Suriah pada bulan Rajab tahun 60 H.
0 Response to "TOKOH ISLAM BANI UMAYAH "
Post a Comment