Budaya
Reformasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Dinamika bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir ini berlangsung
dengan sangat cepat. Dimulai dari sebelum masuknya era reformasi atau di
penghujung orde baru, riak itu terasa deras. Pasca jatuhnya kekuasaan orde
baru, berbagai peristiwa sosial berlangsung silih berganti dengan sangat cepat.
Pucuk pimpinan di tingkat nasional pun—sebelum Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono—tidak pernah ada yang mencapai waktu maksimal dua periode. Bahkan Gus
Dur dihentikan di tengah jalan.
Di tingkat daerah—seiring otonomi daerah—dinamika yang kencang
juga terjadi secara sporadic di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Isu-isu
nasional seolah-olah sedang berlomba-lomba dengan isu-isu lokal yang seakan tak
mau kalah meriahnya.
Mengamati dinamika ini, menjadi menarik untuk memprediksikan
bentuk bangsa dan Negara ini ke depan. Acuan yang digunakan adalah teori-teori
tentang perubahan sosial yang secara khsus mengamati berbagai fenomena dalam
kehidupan sosial masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perubahan sosial? Bagaimana
bentuk-bentuk perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat?
2. Apa penyebab terjadinya perubahan sosial budaya?
3. Faktor-faktor apasaja yang mempengaruhi jalannya
proses perubahan?
C. Tujuan
Adapaun tujuan dari penuliasan makalah ini adalah ingin mengetahui
perbandingan perubahan sosial dari segi Ekonomi, Birokrasi, Politik dan Sosial
Budaya di Indonesia pada masa orde baru dan reformasi
BAB II
PEMBAHASAN
Perubahan sosial dapat dimaknai sama dengan pembangunan /
development. Pembangunan menjanjikan harapan baru untuk memecahkan
masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan bagi berjuta-juta rakyat di
dunia ketiga. Istilah pembangunan mendominasi dan mempengaruhi pikiran
bangsa-bangsa dunia ketiga dan juga mempengaruhi dunia secara global, bahkan
nyaris menjadi “agama baru”.
Di Indonesia, kata pembangunan erat kaitannya dengan pemerintahan
orde baru. Selain sebagai semboyan, kata pembangunan juga menjadi nama bagi
pemerintahan orde baru, sebab kabinet di era pemerintahan orde baru selalu
dikaitkan dengan kata pembangunan, meskipun kata pembangunan sesungguhnya telah
dikenal dan dipergunakan sejak orde lama.
Ada banyak kata yang mempunyai makna sama dengan kata pembangunan,
disamping perubahan sosial, juga pertumbuhan dan modernisasi. Namun pembangunan
memberi makna perubahan kearah lebih positif, dan pembangunan juga bergantung
pada kontek siapa yang menggunakannya dan untuk kepentingan apa.
A. Perubahan Sosial di
Indonesia
Sebagaimana dijelaskan dalam bebagai teori diatas, bahwa perubahan
sosial terjadi karena berbagai sebab dan bermacam-macam cara. Untuk melihat dan
memetakan perubahan sosial yang terjadi di Indonesia dari waktu ke waktu,
bersama ini dipaparkan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia di era Orde
Baru dan era Reformasi.
Sebagaimana urian teori diatas, deskripsi ini juga tidak akan
menggambarkan seluruh realitas sosial yang terjadi di Indonesia. Namun hanya
akan dipaparkan beberapa kasus yang diharapkan dapat menggambarkan ciri
perubahan sosial yang terjadi pada era tersebut.
1. Era Orde Baru
Indonesia sebagai Dunia ketiga / negara berkembang juga tidak
terlepas dari intervensi dan dominasi negara pertama / negara maju. Sebagaimana
dijelaskan diatas, bahwa idiologi developmentalisme pada era orda baru
betul-betul diadopsi dan dikembangkan melalui mekanisme kontrol ideologi,
sosial dan politik yang canggih. Untuk melindungi ideology pembangunan tersebut
Pemerintah menegakkan berbagai pendekatan. Beberapa peraturan dan perundangan
yang dihasilkan di era orde baru yang memperkuat posisi negara sekaligus
memperlemah posisi politik masyarakat, diantaranya adalah:
· Inpres
Nomor 6 Tahun 1970 tentang monoloyalitas bagi pegawai negeri kepada Golkar,
· Keputusan
MPR Tahun 1971 tentang Konsep masa mengambang yang membatasi kegiatan partai
politik hanya sampai di aras Kabupaten,
· Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1973 tentang fusi Partai yang hanya memperbolehkan adanya tiga
partai politik yaitu: PPP, Golkar dan PDI,
· Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang meletakkan birokrasi
pemerintahan yang berada pada aras terbawah dibawah kontrol Departemen Dalam
Negeri sepenuhnya,
· Instruksi
Menteri Dalam Negeri No 2 Tahun 1981 yang memasukkan LMD (semula merupakan
organisasi partisipasi masyarakat) kedalam kontrol Departeman Dalam Negeri,
· Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila yang memberi wewenang penuh
bagi Departemen Dalam Negeri untuk mengontrol semua organisasi massa.
Masih banyak lagi upaya-upaya untuk memperlemah peran masyarakat
seperti: memperkokoh organisasi militer sampai tingkat Kecamatan dan
menempatkan seorang militer untuk setiap Desa (Babinsa), Menggeser pemilihan
lurah yang dilakukan secara demokratis dan menggantikan dengan penempatan
seorang militer sebagai Kepada Desa. Dan berbagai aturan yang penyeragaman wadah
asosiasi sosial dengan penerapan asas tunggal Pancasila, untuk mempermudah
melakukan kontrol, seperti : satu-satunya organisasi buruh yang boleh berdiri
hanya SPSI, Menciptakan KUD sebagai satu-satunya Koperasi yang diizinkan
operasi ditingkat Kecamatan, dan seterusnya. Bahkan dari kebijakan
penyederhanaan Partai berakibat pada pemusatan kekuasaan, sebab Presiden
sebagai mandatris MPR yang merupakan pimpinan birokrasi sekaligus menjadi
Pimpinan tertinggi ABRI adalah Ketua Dewan Pembina Golkar sebagai Partai
Pemenang Pemilu yang penuh rekayasa dan tentu mayoritas di parlemen.
Dengan demikian, di era orde baru ini merupakan era pemberangusan
hak–hak sipil dan politik rakyat. Di Era orde baru ini dilakukan proses-proses
depolitisasi dalam berbagai bidang kehidupan, dan seluruh sumberdaya ekonomi,
sosial, politik rakyat dirampas. Dalam melakukan perubahan semua kekuatan
sosial politik yang potensial seperti : Petani, Buruh, wartawan, intelektual
disatukan sedemikian rupa agar mudah dikontrol dan memiliki pandangan yang sama
tentang pembangunan.
2. Era Paska Reformasi
Dalam era ini terjadi perubahan-perubahan yang luar biasa terhadap
tatanan yang telah dibangun di era orde baru. Era reformasi ini merupakan
puncak dari keruntuhan era orde baru, yaitu Pemerintahan yang sentralistik dan
dominan. Dalam era ini terjadi penolakan dan perombakan-perombakan terhadap
berbagai kebijakan di era orde baru, diantaranya adalah:
· Diterbitkannya
undang-undang Pemilu yang memberi kebebasan untuk membentuk partai politik, masa
mengambang yang dihasilkan di era Orde Baru sudah tidak berlaku lagi, sehingga
rakyat dapat menyalurkan aspirasi politiknya secara bebas. Pada Pemilu tahun
1999 terdapat lebih dari 150 partai dan 48 diantaranya bertarung untuk
memperebutkan 462 kursi yang ada di DPR. Pada Pemilu tahun 2004 jumlah partai
Politik yang telah berbadan hukum sebanyak 50 Partai Politik, sedangkan yang
memenuhi persaratan untuk menjadi peserta Pemilu sebanyak 24 partai.
· DPR,
DPD dan MPR jauh representatif, pada Pemilu 1999 masih ada keterwakilan ABRI,
tetapi pada Pemilu 2004 sudah tidak ada lagi anggota Parlemen yang tidak
dipilih oleh rakyat. Dalam Parlemen dengan bebas dapat membentuk forum-forum,
seperti Poros Tengah, Koalisi Kerakyatan, Koalisi Pembangunan dll.
· Diratifikasinya
Konvensi HAM, Amandemen terhadap UUD 1945 dan dihapuskannya pendekatan keamanan
dalam proses pembangunan memungkinkan adanya perlindungan hukum dan dihargainya
kedaulatan rakyat.
Dari berbagai kebijakan di era reformasi ini telah memberi peluang
terhadap kebebasan individu maupun kelompok masyarakat, telah memberi peluang
terhadap perubahan sosial yang positif dan lebih domokratis. Pada tataran
struktur pemerintahan formal nampak adanya tanda-tanda yang mendukung
terwujudnya civil society.
Namun keterbukaan dan kebebasan tersebut tidak dibarengi oleh
tanggungjawab, solidaritas, inklusivitas dan kepatuhan kepada hukum, sehingga
perubahan sosial yang terjadi tidak didasarkan pada mekanisme demokrasi yang
benar, namun mengarah pada memunculkan suatu dominansi masyarakat tertentu,
seperti kelompok borjuis, kapitalis atau kelompok-kelompok yang mendasarkan
diri pada ikatan primordial (kedaerahan, suku dan agama), contoh kasus: Sambas,
Ambon, dan daerah-daerah lainnya. Serta berbagai gerakan yang mengatasnamakan
reformasi, namun berakhir pada tindak kekerasan, kerusuhan massal, dan
penjarahan. Hal ini disebabkan oleh melemahnya dominasi negara yang diganti
oleh dominasi pasar.
Oleh karena itu, di era paska reformasi ini perlu adanya koreksi
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam membangun masyarakat yang
demokratis, melalui penyediaan arena publik dalam bentuk open haouse, dan
berbagai forum serta saluran lainnya sebagai tempat bertemunya negara dengan
rakyat. Forum dan saluran tersebut dapat menampung aspirasi rakyat, tempat dan
media dimana rakyat secara bebasa melakukan pengawasan, berpartisipasi politik
dan meminta pertanggungjawaban. Dengan demikian, kebebasan yang ada berdasarkan
kesepakatan bersama, bukan kebebasan yang bersifat liberal, namun mempunyai
batasan yang tegas, yaitu: batas kepatuhan Kepada hukum dan HAM serta Kepada
batas inklusifitas dan solidaritas.
Adanya pemilihan umum (2004) yang jujur, adil, bebas, dan rahasia,
pemilihan Presiden RI secara langsung, merupakan saluran-saluran partisipasi
rakyat secara bebas, independen, tidak eksklusif bagi agama tertentu, daerah
tertentu, suku tertentu, golongan sosial – ekonomi tertentu atau partai
tertentu, namun untuk semua golongan. Hal ini merupakan salah satu bentuk
penciptaan ruang bagi rakyat untuk mengembangkan gagasan-gagasan dan pilihan
mereka sendiri tentang perubahan sosial.
B. Peran LSM dalam Perubahan Sosial
Pada era orde baru, strategi pembangunan LSM di Indonesia menurut
David Korten (1987) dikelompokkan menjadi 3 genarasi, yaitu: generasi bantuan
dan kesejahteraan, generasi keswadayaan dalam skala lokal dan generasi
pembangunan yang berkelanjutan. Strategi pembangunan yang dikembangkan oleh LSM
ini tidak terlepas dari kebijakan LSM international yang juga mendukung program
yang bersifat karitatif.
Generasi pertama, bantuan yang diberikan lebih kepada penanganan
kelaparan akibat banjir, akibat perang, dipengungsian dan bencana alam lainnya,
seperti: distribusi pangan, penyediaan tempat penampungan dan pengiriman tim
kesehatan. Sedangkan generasi kedua, yang muncul pada tahun 1970-an menurut
Korten, merupakan reaksi atas keterbatasan pendekatan bantuan dan kesejahteraan
sebagai strategi pembangunan. Pada generasi kedua ini LSM mulai melakukan
pengembangan masyarakat dengan penekanan pada swadaya local, seperti:
memperbaiki cara-cara bertani, memperbaiki infrastruktur local, pelayanan
kesehatan yang bersifat pencegahan, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah,
namun difokuskan pada wilayah-wilayah yang tidak terjangkau atau tidak
memadainya layanan pemerintah. Pada generasi ketiga LSM sudah mengembangkan
alternatif-alternatif baru yang berbeda dengan pemerintah, namun mendukung
modernisasi dan developmentalis yang merupakan idiologi kapitalis yang selama
ini dianut oleh pemerintah. Artinya pada era orde baru LSM juga menggunakan
paradigma developmentalis, walaupun LSM mengerjakan apa yang tidak dikerjakan
oleh pemerintah, tetapi berada pada pola pemerintah.
Setelah selama sekitar dua dasawarsa (1970-an – 1980-an) LSM
bekerja tidak terjadi perubahan yang berarti pada masyarakat, baru menyadari
bahwa pendekatan developmentalis bukan suatu solusi melainkan bagian dari
masalah itu sendiri, sebab pendekatan tersebut malah menciptakan
ketergantungan. Dan setelah dikaji lebih dalam pendekatan developmentalis dan modernisasi
adalah bungkus baru dari kue lama kapotalisme. Kemudian pada awal dasawarsa
1990-an, para aktivis LSM mulai melakukan refleksi kritis terhadap peran, misi
dan visi gerakannya. Para aktivis LSM saling mempertanyakan kompetensi
methodologis dan tehnis antar aktivis LSM dalam memfasilitasi proses perubahan
di Indonesia. Dalam berbagai pertemuan LSM, selalu dilakukan outokritik, bahkan
terjadi konflik antar aktivis LSM yang mendukung perlunya pembangunan untuk
menolong rakyat miskin dengan aktivis LSM yang mulai ingin memperjelas
perspektif idiologis, paradigma dan landasan teoritis aktivis LSM tentang
perubahan sosial.
Kemudian dalam pertemuan LSM di Cisarua pada bulan Juli 1992,
direkomendasikan perlunya studi tentang posisi dan peran masa depan gerakan LSM
di Indonesia. Pertanyaan utama dari studi tersebut adalah Bagaimana Peran LSM
dalam transformasi sosial di Indonensia ? Dari hasil studi yang menggunakan
pendekatan partisipatif dan dialogis, bertujuan untuk :
· Penemuan
masalah, dengan memahami visi, idiologi dan paradigma aktivis LSM tentang
perubahan sosial, dan Bagaimana menterjemahkannya dalam kegiatan lapangan,
· Secara
kolaboratif mengembangkan paradigma dan penerjemahannya kedalam rencana aksi.
Dengan studi reflektif tersebut diharapkan para aktivis dapat
membangun paradigma dan perspektif LSM tentang perubahan sosial. Dan
berdasarkan paradigma tersebut, para aktivis LSM akan menemukan suatu cara
untuk mewujudkannya dalam kegiatan lapangan.
Dari proses refleksi yang terus menerus antara kelompok inti
peneliti, aktivis LSM yang terlibat secara langsung dan aktivis LSM yang tidak
terlibat namun mendapatkan informamsi proses dan hasil penelitian ini, maka
secara bertahap terjadi perubahan perspektif maupun pendekatan dalam
pengorganisasian masyarakat di Indonesia.
Dari hasil penelitian diketahui posisi politis dan ideologis
aktivis tentang perubahan sosial. Posisi politis aktivis LSM Indonesia dapat
digolongkan menjadi tiga tipologi, yaitu: Konformisme, reformis dan
transformatif.Tipe konformis adalah aktivis LSM
yang melakukan pekerjaan dengan didasarkan pada paradigma karitatif, dengan
motivasi menolong rakyat yang didasarkan pada niat baik untuk membantu yang
membutuhkan. Tipe reformisadalah pemikiran yang didasarkan pada
ideology developmentalisme dan modernisasi, masyarakat miskin karena mereka
tidak berpendidikan dan tidak memiliki modal. Karena itu kemudian LSM
menfasilitasi melalui pelatihan-pelatihan dan memberi bantuan modal untuk
berusaha. Sedangkan tipe selanjutnya sebagai alternatif dari dua tipe
sebelumnya adalah transformatif, yaitu berusaha mengubah struktur
dan superstruktur yang menindas rakyat dan membuka kemungkinan bagi rakyat
untuk mewujudkan potensi kemanusiaannya. Paradigma alternatif ini harus
mendorong kearah terciptanya superstruktur dan struktur yang memungkinkan bagi
rakyat untuk mengontrol cara produksi dan mengontrol produksi informamsi dan
ideology mereka sendiri. Mereka mencari struktur dan superstruktur yang
memungkinkan bagi rakyat untuk mengontrol perubahan sosial dan menciptakan
sejarah mereka sendiri, struktur yang memungkinkan bagi masyarakat menuju jalan
demokratis dalam perubahan sosial, ekonomi dan politik.
Namun pada awal dasawarsa 1990-an sangat sedikit aktivis LSM yang
benar-benar dapat digolongkan memiliki perspektif transformatif. LPKP Jawa
Timur yang dirintis pada tahun 1988 pada awalnya juga menganut ideology
modernisasi dan developmentalisme dengan paradigma reformis, bahkan sampai
sekarangpun LPKP belum bebas dari ideoligi ini. Hal ini tergambar dari
program-program yang dikembangkan, seperti: Pelayanan pendidikan dan kesehatan
bagi anak-anak keluarga miskin di Kecamatan Singosari Kab Malang, Program
Beasiswa alternatif untuk anak-anak keluarga miskin, Pengembangan Model
Pendidikan Non Formal bagi pekerja anak di sector pertanian dan indutri di
Kabupaten Malang, Peningkatan pendapatan masyarakat melalui Pengelolaan lahan
kritis di Kecamatan Pagak Kab. Malang, Program peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan infrastruktur perkotaan di Kodya Pasuruan dan
lain-lain.
Pada akhir dasawarsa 1990-an, tepatnya pada tahun 1998, beberapa
aktivis LPKP mengalami perubahan paradigma setelah melaksanakan Lokalatih
Analisis Sosial dan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat. Dalam kegiatan tersebut
peserta diajak untuk melakukan analisis kritis mengoreksi seluruh kegiatan
pendampingan yang telah dilakukan bersama masyarakat. Kemudian diajak memahami
realitas sosial, analisis sosial dan perubahan sosial dengan memaparkan berbagai
teori dan paradigma perubahan sosial. Dari proses interaksi antara fasilitator
dengan peserta dan antar peserta pada awalnya terjadi konflik-konflik karena
perbedaan cara pandang tersebut. Namun kemudian semua peserta menyadari bahwa
mereka belum pernah secara formal berbicara tentang ideology dan visi mereka
dan mereka tidak memiliki alat analisis yang jelas untuk memahami masalah.
C. Pengaruh atau Dampak
Perubahan Sosial Budaya Terhadap Perilaku Masyarakat
Setiap perubahan sosial budaya dalam masyarakat sangat berpengaruh
terhadap perilaku anggota masyarakat. Kalau perubahan tersebut baik, maka
pengaruhnya terhadap perilaku masyarakat juga baik dan sebaliknya. Perubahan
sosial budaya, ini seringkali mengganggu proses pembentukan masyarakat yang
harmonis dan serasi. Keadaan masyarakat yang serasi atau harmohis sangat
didambakan oleh setiap anggota masyarakat, sebab dalam masyarakat yang demikian
.mernbuat hidup nyaman dan tenteram. Dalam masyarakat yang serasi atau harmoni,
lemba-lembaga masyarakat benar-benar dapat berfungsi secara maksimal dan saling
mengisi. Dalam keadaan seperti itu, setiap anggota masyarakat akan merasakan
ketenteraman, kedamaian, kerukunan, dan sebagainya.
Namun, keadaan masyarakat yang harmonis dan serasi seringkali
tidak atau jarang terwujud. Kenyataanya dalam masyarakat selalu ada anggota
nasyarakat yang perilakunya kadang menyimpang dari aturan yang ada, seperti
kelompok pemabuk,pertengkaran dan sebagainya. Hal itu terjadi karena akibat
pengaruh perubahan sosial budaya dalam masyarakat tersebut.
Pengaruh perubahan sosial budaya terhadap perilaku masyarakat
sangat erat hubungannya dengan fungsi nilai sosial dan kebudayaan dalam
masyarakat. Beberapa fungsi atau peranan nilai sosial dalam masyarakat antara
lain sebagai berikut:
1. Sebagai sistem
kesatuan makna
Sistem kesatuan makna artinya satuan kebiasaan atau budaya yang
membedakan dengan budaya daerah atau Negara lainFungsi atau peranan nilai
social membentuk system kesatuan makna tersebut yang membedakan dengan bangsa
lain. Contoh, orang Indonesia apabila makan atau minum sambil duduk di kursi
atau di lantai. beralaskan tikar. Sedang orang-orang Amerika kebiasaan makan
dan minum sambil berdiri bahkan berjalan-jalan merupakan hal yang biasa. Hal
ini terjadi sebab makna budaya orang Indonesia berbeda dengan makna budaya
orang Amerika. Orang Indonesia masih sangat menjunjung sopan santun yang
tinggi, sedang orang. Amerika rasa sopan santun sudah ditinggalkan. Cara
pandang orang Amerika lebih mengutamakan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta keahlian daripada nilai-nilai kesopanan seperti orang
Indonesia.
2. Mengemban Tugas Pendidikan
Nilai sosial budaya juga berfungsi sebagai pengemban tugas
pendidikan, artinya melahirkan anggota-anggota masyarakat baru dalam menghayati
pola kehidupan bersama dalam masyarakat. Secara nyata tugas penddikan atau
mendidik ini diserahkan pada tiga lembaga atau instansi, yaitu: keluarga,
sekolah, dan masyarakat itu sendiri. Dasar-dasar pendidikan yang diajarkan
kepada warga masyarakat melalui tiga lembaga pendidikan adalah nilai-nilai
sosial, seperti: kesopanan, kebersamaan, persatuan dan kesatuan, moralitas dan
sebagainya.
4. Membentuk Manusia yang Beradab
NiIai sosial budaya yang berperan dalam pembentukan sikap hidup
beradab seperti nilaiai kesopanan, kerendahan hati dan nilai-nilai sosial lain
yang menjunjung tinggi moral dan budaya sebagai pedoman masyarakat dalam
bertingkah laku. Kesimpulannya, fungsi nilai dan budaya akan membentuk manusia
beradab, yaitu terwujudnya manusia yang sopan santun, bermoral baik,
berpengetahuan tinggi, dan sebagainya. Jika nilai yang baik berubah menjadi
nilai-nilai yang tidak baik, akibatnya akan mempengaruhi perilaku tidak baik
pula bagi anggota masyarakat. Dengan demikian, maka fungsi nilai sosial budaya
membentuk manusia yang beradab tidak akan terwujud.
5. Sebagai Pola Dasar Kehidupan Bersama
Fungsi nilai sosial dan budaya adalah membentuk pola dasar
kehidupan bersama maksudnya membentuk atau meletakkan pola-pola dasar umum
dalam suatu masyarakat. Berdasarkan fungsi nilai sosial dan kebudayaan tersebut
dapat disimpulkan bahwa nilai social dan kebudayaan berfungsi sebagai haluan
atau pedoman berperilaku bagi masyarakat.Jika nilai sosial dan kebudayaan
tersebut mengalami perubahan, otomatis akan memengaruhi perubahan atau
disintegrasi. Bentuk disintegrasi akibat perubahan perilaku masyarakat dapat
kalian simak dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pelakunya, ketidakserasian social (disintegrasi)
dikelompokkan menjadi tig, yaitu sebagai berikut:
1. Disintegrasi masyarakat, yaitu
ketidakserasian yang terjadi dalam sebuah masyarakat, contoh: kemiskinan,
pengangguran, korupsi dan sebagainya.
2. Disintegrasi keluarga, yaitu
ketidakserasian yang terjadi dalam sebuah keluarga, contohnya: perceraian,
pertengkaran keluarga, kelahiran tidak dikehendaki, dll.
3. Disintegrasi perorangan, yaitu
ketidakserasian pada diri seseorang, contoh: kenakalan remaja, sakit ingatan,
pelacuran, mabuk-mabukan dll.
Jenis atau macam ketidakserasian atau disintegrasi yang
lain, yaitu berdasarkan bentuknya. Berdasarkan bentuknya proses disintegrasi
(ketidakserasian social) dikelomokkan menjadi:
1. Anomie
Anomie adalah keadaan dalam masyarakat yang tidak ada pegangan
terhadap tindakan mana mana yang baik dan mana yang tidak baik. Keadaan ini
terjadi karena norma atau nilai lama sudah memudar sedangkan nilai nilai-nilai
baru tebentuk.
2. Mestizo Culture
Mestizo adalah campuran unsur-unsur kebudayaan yang memiliki warna
dan sifat yang berbeda. Ciri proses mestizo ini adalah sifatnya normalis,
artinya hanya meniru bentuk luarnya saja tanpa mengerti arti sesungguhnya.
3. Cultural Lag
Cultural Lag adalah ketertinggalan budaya yang disebabkan oleh
unsur-unsur budaya dalam masyarakat yang pertumbuhannnya tidak sama. Satu
budaya bertumbuh dengan pesat namun unsure budaya lainnya pertumbuhaannya
sangat lambat, maka terjadilah cultural lag.
D. Dampak Perubahan
Sosial Terhadap Kehidupan Masyarakat Akibat Modernisasi
a. Pengertian
Modernisasi
Modernisasi sering disamakan dengan westernisasi. Modernisasi
berasal dari kata dasar modern. Adapun modern sendiri bersasal dari kata
modernus (latin) yang terdiri dari dua kata yaitu modo yang berarti cara dan
emus yang mengacu pada adanya periode waktu masa kini, sehingga modernisasi
bisa diartikan sebagai proses menuju masa kini atau proses menuju masyarakat
modern.
Ada beberapa para ahli yang berpendapat tentang modernisasi,
yaitu:
a. Koentjaraningrat
b. Soerjono Soekanto
c. Astrid S. Susanto
d. Abdul Sani
e. Ogburn dan Nimkoff
f. Lovis Irving Horowitz
g. J.W Schoorl
h. Wibert E. More
i. Harold Resenburg
Sebagaimana pendapat mereka, modernisasi meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1. Proses perubahan social dari system yang bersifat
tradisional menjadi lebih maju ditandai dengan adanya perubahan di segala
bidang, seperti penggantian tenaga manusia menjadi tenaga mesin.
2. Perubahan teknologi dari dari yang sederhana (yang
tardisional) kearah teknologi canggih.
b. Gejala Modernisasi
1. Bidang IPTEK
Adanya ilmu pengetahuan dapat mengubah aspek-aspek social dan
kebudayaan. Apabila proses perubahan tersebut berjalan terencana dan terarah
maka dapat tercapai modernisasi. Dan modernisasi juga dapat berlangsung jika
ada teknologi, yang mana hal tersebut dapat terwujud melalui adanya uji coba
(trial dan error).
2. Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya
Pada zaman dahulu, system perekonomian masyarakat sangat
sederhana, yaitu dimulai dari masa berburu dan masa meramu. Dalam bidang
social, modernisasi ditandai dengan semakin banyaknya kelompok sosial baru
dalam masuarakat, yaitu kelompok buruh, kelompok manajer, kelompok ekonomi
kelas menengah dan atas, kaum intelektual, dll.
Sedangkan gejala modernisasi dibidang budaya ditandai dengan
semakin lunturnya budaya tradisional yang disebabkan oleh pengaruh masuknya
budaya luar (barat).
4. Bidang Politik
Jaman dahulu ketika manusia belum mengenal ilmu pengetahuan dan
kebudayaan masih primitive, kata politik belum dikenal walau pada dasarnya
mereka sudah menjalankan suatu pembuatan politis, hanay saja mereka tidak
menyadarinya. Dan pada saat itu juga aktivitas politik dilakukan dengan cara
yang alamiah atau bahkan masih menggunakan aturan main hokum rimba.
c. Syarat Modernisasi
Syarat-syarat modernisasi menurut Soerjono Soekanto bisa
disimpulkan modernisasi dapat berjalan lancer maka perlu adanya dukungan kebudayaan
masyarakat.
d. Perkembangan Modernisasi
Tahapan perkembangan masyarakat menuju modernisasi menurut WW.
Rostow:
1. Tahap masyarakat tradisional (the traditional
society)
2. Tahap prakondisi (the precondition for take off)
3. Tahap lepas landas (take off)
4. Tahap gerak menuju kematangan ((the drive for
maturenty)
5. tahap konsumsi massa tinggi (the age of high mass
consumption)
e. Dampak perubahan sosial akibat modernisasi
Semua perubahan social akibat modernisasi akan menimbulkan dampak
positif dan negative kepada masyarakat bersangkutan. Dampak tersebut adalah:
1. Konsumerisme dan etos kerja manusia modern di
Indonesia
Konsumerisme paham atau aliran dimana seseorang atau kelompok
melakukan pemakaian hasil produksi secara berlebihan secara sadar dan
berkelanjutanbudaya konsumerisme tidak selalu berdampak negative karena
konsumerisme juga berarti memperluas pasar sebab orang-orang akan semakin
senang membeli barang-barang.
2. Kesenjangan social ekonomi
Ini adalah salah satu dampak dar modernisasi dan pembangunan yang
sangat membahayakan kehidupan bangsa sehingga akan mengancam stabilitas
nasional.
3. Pencemaran lingkungan alam
Adanya ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, manusia bisa
menciptakan alat dan mesin untuk membantu kelangsungan hidup mereka.
4. Kriminalitas
Adalah suatu tindakan kejahatan yang bertindak tegas. Gejala
kriminalitas lain yang akhir-akhir ini berkembang dari masyarakat adalah white
collar crime atau biasa disebut kejahatan kerah putih.
5. Kenakalan remaja
Masa remaja menjadi masa yang berbahaya yang dikenal dengan
istilah masa badai dan tekanan (storm and stress), karena pada masa itu
seseorang harus meninggalkan kehidupan kanak-kanak menuju tahap kedewasaan.
E. Dampak Perubahan
Sosial Terhadap Kehidupan Masyarakat Akibat Globalisasi
Globalisasi membawa pengaruh luar masuk ke Indonesia secara
langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan
masyarakat Indonesia yaitu dibidang ekonomi, social dan budaya.
Masyarakat yang siap atau tidak dalam menghadapi perubahan akibat
arus globalisasi dapat terjadi karena sifat masyarakat itu sendiri (dinamis
atau statis/tradisional), atau karena factor pengubahnya (pengaruh) berupa
nilai-nilai yang benar-benar baru.
Dampak positif perubahan social akibat globalisasi yaitu kemudahan
untuk mengakses informasi di belahan internasional. Dampak negatifnya yaitu
munculnya budaya hedonis (pola hidup menuju kesenangan).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perjalan kehidupan berbangsa dan bertanah air Indonesia semakin
hari terus mengalami perubahan ke arah yang semakin baik. Masyarakat yang adil
dan sejahteraan adalah cita-cita mulai bangsa Indonesia. Dalam konteks
kekinian, perbaik kehidupan sosial, ekonomi dan politik terus digalakan.
Harapan besar ditujukan kepada para pemimpin untuk terus mewujudkan cita-cita.
Kepada presiden SBY mandat rakyat diberikan untuk terus melakukan perubahan
kehidupan berbangsa yang lebih baik.
Integrasi dan kedaulatan bernegara adalah tugas utama untuk terus
menjaga keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Negara
harus terus menjamin keamanan dan perdamaian rakyatnya dari agresi-agresi
separatis, teroris dan batas negara yang mengancam keutuhanan dan kedaulatan.
Harmoni dan toleransi beragma perlu ditingkatkan sehinga tidak terjadi konflik
horizontal.
Hukum dan keadilan sosial perlu ditingkatkan. Mafia peradilan dan
praktek korupsi yang masih berakar harus dicabut dan ditindak secara adil.
Praktek koruptif dan destruktif yang masih tersisa seperti Bank Century,
“markus”, mafia perpajakan, dll harus segera diproses. Penanganan yang molor
memberi kesan ketidaktegasan pemerintah terhadap tindakan pemberantasaan
korupsi. Selain itu, penegakan HAM harus terus ditingkatkan.
Demikian juga dengan kehidupan berpolitik dan demokrasi tanah air.
Penguatan konstitualisme, partisipasi politik rakyat dan civil society harus
tetap dipertingkatkan juga. Kebebasan pers pun harus tetap dipertahankan.
Kontrol terhadap kebebasan pers adalah pemunduran demokrasi. praktek legislasi
yang buruk perlu perlu diperbaiki.
Kesejahteraan dan ekonomi masyarakat menjadi tugas penting untuk
meningkatkan kehidupan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Peran BI (bank
Indonesia) berperan penting dalam menjaga kestabilan makroekonomi. Kebijakan
moneter harus bisa menjaga dan menekan inflasi dan nilai rukar rupiah. Selain
itu pemerintah harus menjamin peningkatan investasi dan ekspor dalam rangkat
menaikan prosentase pertumbuhan ekonomi nasional. Perbaikan layanan publik,
kualitas pendidikan dan kebijakan subsidi yang tepat sangat membantu mengurangi
tingkat kemiskinan dalam masyarakat. Pemerintah pun harus tetap konsisten
dengan program pembukaan lapangan kerja yang sebanyak-banyak dan mendorong dunia
usaha untuk pengurangi tingkat pengangguran.
0 Response to "Makalah Artikel Budaya Reformasi"
Post a Comment